Kamis, 10 Januari 2013

Peradilan Sesat di Indonesia

Legenda Sengkon-Karta 1974 Bekasi


     Masih jelas dalam ingatan banyak orang bahwa pada 1974 pernah terjadi kasus yang menimpa Sengkon dan Karta. Sengkon dan Karta adalah petani berasal dari Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat, di mana masing-masing dihukum 7 dan 12 tahun penjara atas tuduhan merampok dan membunuh suami-istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi, Jabar. Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi ketimbang bantahan kedua terdakwa.


     Ternyata, kebenaran dan nasib baik saat itu berpihak pada Sengkon dan Karta serta berbalik menjadi tombak yang `melukai` para penegak hukum yang menjebloskannya ke penjara, setelah pembunuh asli (sebenarnya) Sulaiman-Siti Haya terungkap. Mereka menerima vonis pengadilan negeri Bekasi dengan hukuman 12 tahun (Sengkon) dan 7 tahun (Karta) atas dakwaan pembunuhan dan perampokan. Putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Putusan itu berkekuatan hukum tetap, sebab Sengkon dan Karta tidak kasasi.


     Sengkon dan Karta menjadi penghuni LP Cipinang dan dalam penjara itu mulai terkuak masalah sebenarnya. Seorang penghuni LP bernama Gunel mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan yang dituduhkan kepada Sengkon dan Karta. Gunel diadili, terbukti dan ia dihukum sepuluh tahun penjara,


     Kasus Sengkon dan Karta menggemparkan tanah air kala itu. Albert Hasibuan seorang anggota DPR dan pengacara tersentuh hatinya dan mengusahakan pembebasan Sengkon dan Karta


     Sengkon dan Karta mengalami penderitaan luar biasa. Menurut pengakuan, mereka dipukuli aparat. Dan lebih tersiksa lagi sebab Sengkon terserang penyakit TBC di penjara Cipinang. Lebih tragis lagi,Sengkon tewas kecelakaan tak lama setelah keluar dari penjara, sedangkan Karta meninggal kemudian akibat menderita sakit parah.


     Sengkon ketika diwawancarai wartawan, mengatakan : bahwa dia hanya berdoa agar cepat mati, karena penyakit TBC terus merongrongnya dan tidak ada biaya untuk meneruskan hidup. Sudah habis terkuras menghadapi kasusnya yang panjang.


     Keluarga Karta dengan seorang isteri dan 12 orang anak kocar kacir. Semua sawah dan tanah mereka sudah dijual habis untuk biaya hidup dan membiayai perkara.Tapi, ada hikmah yang besar dengan kasus Sengkon dan Karta, sebab Mahkamah Agung menghidupkan lembaga Peninjauan Kembali (peninjauan kembali atau PK sebelum peristiwa Sengkon dan Karta tidak dikenal dalam system hukum di Indonesia) terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan tetap (berziening), Januari 1981 ketua MA Oemar Seno Adji memerintahkan kedua orang itu dibebaskan.


     Berdasarkan semua itu, kuasa Sengkon, Murtani, merasa layak menuntut ganti rugi kepada pemerintah. Ia menuntut Departemen Kehakiman c.q. Pengadilan Tinggi Jawa Barat c.q. Pengadilan Negeri Bekasi untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 100 juta. Tapi gugatan itu, Juli 1981, ditolak Pengadilan Negeri Bekasi. Alasan ketua Pengadilan Negeri Bekasi, (ketika itu) J. Serang, pengadilannya tidak dapat "mengadili dirinya sendiri". Alamat yang tepat untuk gugatan itu, Serang menganjurkan, adalah Pengadilan NegeriJakarta Pusat.


     Murtani mengulangi gugatan itu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, kembali berakhir sia-sia. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diketuai Soebandi, menolak gugatan Sengkon-Karta itu. Alasannya, pengadilan tidak berwenang mengadili seorang hakim dalam menjalankan tugasnya. Keputusan itu pun dikuatkan Pengadilan Tinggi, Juli 1983.


     Upaya terakhir yang dilakukan Murtani, naik kasasi, ternyata kandas pula. Kasasi Sengkon-Karta ditolak Mahkamah Agung, karena Murtani terlambat memasukkan permohonan. Menurut hukum acara, permohonan sudah diterima Mahkamah Agung, 25 Oktober, dan Murtani baru menyampaikannya 26 Oktober 1983. "Majelis memang tidak memeriksa lagi materi perkara, karena syarat formal tidak terpenuhi," ujar Olden Bidara.


     Siapa yang salah ? Pengacara Murtani, yang mengaku tidak dibayar untuk mengurus kasus itu, menolak disalahkan. Sebab, katanya, keterlambatan itu disebabkan kesulitan anak Almarhum Karta mengurus "surat keteranan miskin" dari lurah. Padahal, surat itu perlu dilampirkan untuk meminta pembebasan biaya perkara. Tapi, seandamya syarat formal itu pun dipenuhi, menurut Murtani, kemungkinan menang bagi Sengkon dan Karta sangat tipis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar