Selasa, 15 Januari 2013

OBROLAN DI WARUNG KOPI

      hari ini saya mendapati kejadian yang lucu dan bisa dikatakan sedikit aneh, seorang teman melontarkan sebuah diskusi mengenai pembatalan pasal dalam Undang-undang sistem pendidikan nasional mengenai SBI dan RSBI. dari diskusi itu muncul sebuah wacana mengenai uji materi Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 mengenai perkawinan dimana dalam Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1983 ada diskriminasi persyaratan poligami bagi PNS dan Bukan PNS seharusnya persyaratan nya sama antara yang PNS dan Bukan PNS.
    mereka yang melontarkan ini sebenarnya bukan karena mereka mendukung poligami tapi lebih karena untuk mengurangi terjadinya Nikah Siri dikalangan PNS karena adanya diskriminatif aturan tersebut. mereka yang melontarkan ini mengatakan harusnya persyaratan Poligami baik bagi PNS dan Bukan PNS sama, sehingga dalam pelaksanaan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tidak diskriminatif dan mengurangi adanya Nikah Siri dikalangan Oknum PNS dan tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia terutama mengenai menjalankan syariat Agama yang dianut nya.
    dalam diskusi tersebut dikatakan bahwa dengan adanya perbedaan aturan tersebut menjadikan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh PNS dalam menjalankan syariat Agama yang dianut nya tersebut. anggapan itu karena setelah membaca aturan mengenai poligami bagi PNS adanya diskriminatif terutama bagi PNS wanita, dimana dalam aturan tersebut menyebutkan bahwa PNS wanita tidak diperbolehkan menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari PNS, sehingga menutup kesempatan bagi PNS perempuan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari PNS.
      hal ini menjadi menarik karena dalam Undang-undang Dasar 1945 mengatakan bahwa setiap warga negara dijamin haknya dalam menjalankan agama yang dianut nya. dengan adanya aturan tersebut emnutup kesempatan bagi PNS wanita yang mungkin saling suka dengan teman PNS nya yang telah beristri dan istri pertamanya mengijinkan poligami tersebut.
       diskusi ini berakhir dengan deadlock karena sudah waktunya kerja dimulai, jadi diskusi berakhir dengan rencana uji materi aturan tersebut dan dalam proses mencari sponsor bagi gugatan uji materi tersebut.

Kamis, 10 Januari 2013

Peradilan Sesat di Indonesia

Legenda Sengkon-Karta 1974 Bekasi


     Masih jelas dalam ingatan banyak orang bahwa pada 1974 pernah terjadi kasus yang menimpa Sengkon dan Karta. Sengkon dan Karta adalah petani berasal dari Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat, di mana masing-masing dihukum 7 dan 12 tahun penjara atas tuduhan merampok dan membunuh suami-istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi, Jabar. Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi ketimbang bantahan kedua terdakwa.


     Ternyata, kebenaran dan nasib baik saat itu berpihak pada Sengkon dan Karta serta berbalik menjadi tombak yang `melukai` para penegak hukum yang menjebloskannya ke penjara, setelah pembunuh asli (sebenarnya) Sulaiman-Siti Haya terungkap. Mereka menerima vonis pengadilan negeri Bekasi dengan hukuman 12 tahun (Sengkon) dan 7 tahun (Karta) atas dakwaan pembunuhan dan perampokan. Putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Putusan itu berkekuatan hukum tetap, sebab Sengkon dan Karta tidak kasasi.


     Sengkon dan Karta menjadi penghuni LP Cipinang dan dalam penjara itu mulai terkuak masalah sebenarnya. Seorang penghuni LP bernama Gunel mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan yang dituduhkan kepada Sengkon dan Karta. Gunel diadili, terbukti dan ia dihukum sepuluh tahun penjara,


     Kasus Sengkon dan Karta menggemparkan tanah air kala itu. Albert Hasibuan seorang anggota DPR dan pengacara tersentuh hatinya dan mengusahakan pembebasan Sengkon dan Karta


     Sengkon dan Karta mengalami penderitaan luar biasa. Menurut pengakuan, mereka dipukuli aparat. Dan lebih tersiksa lagi sebab Sengkon terserang penyakit TBC di penjara Cipinang. Lebih tragis lagi,Sengkon tewas kecelakaan tak lama setelah keluar dari penjara, sedangkan Karta meninggal kemudian akibat menderita sakit parah.


     Sengkon ketika diwawancarai wartawan, mengatakan : bahwa dia hanya berdoa agar cepat mati, karena penyakit TBC terus merongrongnya dan tidak ada biaya untuk meneruskan hidup. Sudah habis terkuras menghadapi kasusnya yang panjang.


     Keluarga Karta dengan seorang isteri dan 12 orang anak kocar kacir. Semua sawah dan tanah mereka sudah dijual habis untuk biaya hidup dan membiayai perkara.Tapi, ada hikmah yang besar dengan kasus Sengkon dan Karta, sebab Mahkamah Agung menghidupkan lembaga Peninjauan Kembali (peninjauan kembali atau PK sebelum peristiwa Sengkon dan Karta tidak dikenal dalam system hukum di Indonesia) terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan tetap (berziening), Januari 1981 ketua MA Oemar Seno Adji memerintahkan kedua orang itu dibebaskan.


     Berdasarkan semua itu, kuasa Sengkon, Murtani, merasa layak menuntut ganti rugi kepada pemerintah. Ia menuntut Departemen Kehakiman c.q. Pengadilan Tinggi Jawa Barat c.q. Pengadilan Negeri Bekasi untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 100 juta. Tapi gugatan itu, Juli 1981, ditolak Pengadilan Negeri Bekasi. Alasan ketua Pengadilan Negeri Bekasi, (ketika itu) J. Serang, pengadilannya tidak dapat "mengadili dirinya sendiri". Alamat yang tepat untuk gugatan itu, Serang menganjurkan, adalah Pengadilan NegeriJakarta Pusat.


     Murtani mengulangi gugatan itu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, kembali berakhir sia-sia. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diketuai Soebandi, menolak gugatan Sengkon-Karta itu. Alasannya, pengadilan tidak berwenang mengadili seorang hakim dalam menjalankan tugasnya. Keputusan itu pun dikuatkan Pengadilan Tinggi, Juli 1983.


     Upaya terakhir yang dilakukan Murtani, naik kasasi, ternyata kandas pula. Kasasi Sengkon-Karta ditolak Mahkamah Agung, karena Murtani terlambat memasukkan permohonan. Menurut hukum acara, permohonan sudah diterima Mahkamah Agung, 25 Oktober, dan Murtani baru menyampaikannya 26 Oktober 1983. "Majelis memang tidak memeriksa lagi materi perkara, karena syarat formal tidak terpenuhi," ujar Olden Bidara.


     Siapa yang salah ? Pengacara Murtani, yang mengaku tidak dibayar untuk mengurus kasus itu, menolak disalahkan. Sebab, katanya, keterlambatan itu disebabkan kesulitan anak Almarhum Karta mengurus "surat keteranan miskin" dari lurah. Padahal, surat itu perlu dilampirkan untuk meminta pembebasan biaya perkara. Tapi, seandamya syarat formal itu pun dipenuhi, menurut Murtani, kemungkinan menang bagi Sengkon dan Karta sangat tipis.

Nikah Siri

    Saya pernah melihat debat disalah satu TV swasta mengenai Nikah Siri, debat tersebut mendebatkan mengenai ulah salah satu pejabat daerah di Negeri ini yang melaksanakan Nikah Siri dan hanya berlangsung 4 hari saja. Salah satu hal yang membuat saya tercengang dan menurut saya adalah sebuah komentar yang lucu dimana salah satu peserta debat mengatakan bahwa Nikah Siri terjadi karena poligami dipersulit. Bagi saya apa yang disyaratkan negara terhadap seorang laki-laki untuk berpoligami hanya untuk menjamin bahwa hak-hak perempuan terlindungi dalam rumah tangga, karena apabila Negara tidak mengatur mengenai hal tersebut maka akan banyak laki-laki yang secara ekonomi hanya mampu menghidupi satu istri akan nekat berpoligami, karena saya melihat poligami yang terjadi saat ini hanya karena nafsu.
     Saya bukanlah seorang yang anti poligami tapi saya sangat tidak setuju dengan nikah siri karena "SIRI artinya DISEMBUNYIKAN ATAU RAHASIA" pernikahan adalah sesuatu yang membahagiakan dan harusnya diberitakan supaya orang-orang tahu bahwa seseorang telah menikah. Saya tidak setuju dengan nikah siri karena dalam hukum Negara kita terutama mengenai kependudukan sebuah pernikahan yang tidak didaftarkan maka anak dari hasil pernikahan tersebut tidak bisa didaftarkan sebagai anak dari pasangan suami istri yang menikah tersebut. Dalam hal keperdataan seorang Anak yang dilahirkan dari Pernikahan siri maka tidak memiliki hubungan keperdataan dengan Ayahnya.
     Nikah siri atau nikah yang tidak dicatatkan juga sangat merugikan bagi pihak istri karena sama sekali tidak ada perlindungan secara hukum bagi perempuan yang dinikahi secara siri. Dalam hal perceraian sang suami bisa seenaknya sendiri karena tidak ada bukti surat dari pernikahan tersebut. 
        Jadi pada intinya bagi orang tua mohon dengan sangat agar bagi para orang tua yang mempunyai anak perempuan jangan pernah ijinkan anak anda menikah siri meskipun itu dinikahi pejabat. Karena tidak ada perlindungan hukum sama sekali bagi para istri yang dinikahi secara SIRI.